Ayah ikut ngidam. Mungkinkah? Mual muntah, sulit tidur, nafsu makan berkurang, cepat lelah dan mengantuk, emosi yang naik turun hingga mengidam makanan tertentu adalah cerita yang biasa kita dengar saat Ibu menjalani kehamilan di trimester pertama. Namun, adakalanya Ayah pun mengalami gejala-gejala kehamilan ini. Ada yang hanya merasa jadi sering mengantuk seperti istrinya yang hamil, ada pula yang sampai mengalami muntah-muntah hebat. Ternyata, banyak juga Ayah yang mengalaminya. Kok, bisa ya?
Fenomena ini bernama sindrom couvade. Couvade berasal dari Bahasa Perancis “couver” yang artinya mengerami atau menetaskan. Istilah ini digunakan pertama kali oleh seorang antropolog, Edward Burnett Tylor, pada 1865. Ia menggunakan istilah itu untuk mendeskripsikan harapan atau kecemasan mengenai kelahiran bayi pada komunitas primitif.
Kendati namanya terdengar asing di telinga, cukup banyak Ayah yang mengalami fenomena ini. Peneliti Dr. Arthur Brennan dari Kingston University di London pada 2007 mempelajari 282 laki-laki yang akan mempersiapkan diri menjadi Ayah. Hasil yang didapatkan, sekitar 55% laki-laki ini turut mengalami gejala yang biasanya dialami oleh sang istri saat hamil. Sejumlah penelitian lain mencatat sebanyak 25-52% calon Ayah di Amerika ikut merasakannya. Bahkan di Thailand, angka Ayah yang mengalaminya diperkirakan mencapai 61%.
Dari berbagai kasus sindrom couvade atau Ayah ngidam yang terjadi, gejalanya meliputi fisiologis dan psikologis. Gejala fisiologis, misalnya mual, rasa nyeri di perut, kembung, perubahan nafsu makan, gangguan pernapasan, sakit gigi, kaki kram, sakit punggung hingga iritasi organ genital atau saluran kencing. Sedangkan gejala psikologis, contohnya perubahan pola tidur, kecemasan, depresi, gelisah, dan berkurangnya libido.
Simpati Kelewat Besar
Ternyata, sindrom couvade lebih disebabkan oleh factor psikologis. Ayah seolah-olah mengalami gejala kehamilan karena rasa simpati yang kelewat besar pada kondisi Ibu. Itu sebabnya, sindrom couvade juga sering disebut sebagai kehamilan simpatik (symphatetic pregnancy). Perasaan simpati ditandai dengan kemampuan merasakan apa yang dialami, dilakukan, dan diderita oleh orang lain.
Seorang Ayah yang akan menyambut kedatangan sang buah hati, umumnya dilanda perasaan gembira dan bersemangat. Namun, bersamaan dengan itu, ada juga rasa cemas, khawatir dan tegang menghadapi persalinan, serta tanggung jawab sebagai seorang Ayah. Ketika berbagai emosi ini menguasai pikiran seorang Ayah, efeknya antara lain bisa memunculkan keluhan yang bersifat fisiologis. Misalnya, keluhan mag sering kali jika diperiksa lebih seksama, penyebabnya asalah perasaan cemas dan tegang berlebihan. Inilah yang membuat sindrom couvade juga dapat disertai gejala fisiologis.
Sindrom couvade biasanya muncul pada trimester pertama dan ketiga kehamilan. Pasalnya, pada periode ini umumnya Ibu lebih banyak mengalami keluhan. Dengan sendirinya, Ibu pun lebih banyak menceritakan keluhan ini kepada Ayah. Adanya “serbuan” keluhan ini dapat menstimulasi Ayah, sehingga bersimpati dengan kadar yang tinggi dan mengakibatkan Ayah seolah-olah ikut mengalami keluhan tersebut. Sindrom couvade biasanya menurun pada trimester kedua, karena kehamilan Ibu lebih berjalan “damai” pada periode ini.
Meski sindrom couvade umumnya menghilang setelah kelahiran sang buah hati, bisa saja Ayah kembali mengalaminya saat menunggu kelahiran anak kedua, ketiga, dan seterusnya. Sebaliknya, mungkin juga Ayah tidak mengalaminya saat menunggu kelahiran anak pertama, tapi mengalaminya ketika Ibu hamil anak kedua. Makin dalam Ayah terlibat dengan kehamilan Ibu, makin besar peluang Ayah mengalami sindrom ini. Misalnya, Ayah yang mengalami tingkat kekhawatiran tinggi karena kehamilan Ibu berisiko tinggi akan lebih mungkin ikut mengalami gejala-gejala kehamilan dibandingkan Ayah yang tingkat kecemasannya rendah.
Atasi Dengan Logika
Bila sindrom ini tidak terlalu mengganggu rutinitas Ayah, nikmati saja sebagai bagian dari menunggu proses kelahiran sang buah hati. Lain hal bila sudah berlebihan dan dirasakan mengganggu, tentu saja Ayah harus mencari jalan untuk dapat mengatasinya.
Saat muncul rasa simpati, yang dominan berperan adalah aspek perasaan atau emosional dari seorang Ayah. Emosi dikontrol oleh system limbik pada otak manusia. Ketika system limbik bekerja dengan sangat aktif, korteks prefrontal yang mengatur logika di bagian otak depan akan menjadi lemah. Karena itu, ketika sindrom couvade menyerang, Ayah harus dapat berpikir dengan logis dan menyadari semua tindakan Ayah. Aktifkan kembali korteks prefrontal supaya dapat meredam emosi yang berlebihan tadi.
Misalnya, di waktu tengah malam Ayah merasa sangat ingin mengudap makanan tertentu seperti layaknya seorang Ibu yang sedang mengidam. Padahal, sudah tidak mungkin ada penjual makanan tersebut di tengah malam seperti itu. Untuk meredakan keinginan “mengidam” tersebut, Ayah harus kembali berpikir dengan logis bahwa yang sedang hamil dan mengalami gejala-gejala kehamilan adalah Ibu, bukan Ayah. Tekankan pikiran bahwa tengah malam begitu kehadiran Ayah lebih dibutuhkan di sisi Ibu untuk menemani dan melindungi Ibu di rumah, bukan malah berkeliaran di luar rumah menuruti keinginan mencari makanan.
Ibu pun dapat mengingatkan Ayah jika melihat sindrom couvade atau ngidam pada Ayah yang dialami mulai terasa mengganggu. Namun, Ibu juga jangan sampai marah-marah dan emosi yang berlebihan. Kondisi demikian hanya akan menambah runyam keadaan rumah tangga.
Bila Ibu merasa tidak mampu mengingatkan Ayah mengenai sindrom couvade yang dialaminya, coba minta bantuan teman-teman Ayah sesama Ayah untuk berbicara dari hati ke hati. Menurut sebuah penelitian, seorang Ayah lebih mudah dipengaruhi oleh sesama Ayah dibandingkan oleh istri, orangtua, ataupun tenaga kesehatan. Teman-teman Ayah yang saling berbagi cerita dan mengingatkan Ayah dapat membantunya untuk dapat lepas dari sindrom couvade yang menyerangnya ini.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.